Apakah Gen Cerdas Orangtua Menurun pada Anak??
Secara umum ada dua faktor penentu kecerdasan anak: faktor lingkungan dan genetik. Mengenai faktor genetik atau gen cerdas, itu sebenarnya sama dengan ‘bakat’ yang dimiliki anak, atau bisa juga dibilang ‘potensi kecerdasan’ yang diturunkan orangtua. Dalam hal ini, tak semua gen cerdas orangtua akan menurun pada setiap anak. Misalnya, jika anak pertama tak mewarisi gen cerdas orangtuanya, kemungkin anak berikutnyalah yang mewarisinya.
Mendeteksi ada-tidaknya gen cerdas pada anak itu mudah, tidak perlu sampai mendeteksi kromosom (tempat bersemayamnya gen-gen — Red.) segala. Sejak dini (usia anak 3 bulan), kita sudah bisa mendeteksi bakatnya. Caranya, pantau terus perkembangannya. Jika kita membunyikan bel dan anak bisa mengikuti (menemukan) arah datangnya suara bel (dengan menolehkan kepala — Red.), berarti ia cukup cerdas dan perkembangan motoriknya baik.
Kita juga bisa memprediksi cerdas-tidaknya bayi lewat berbagai hal. Misalnya, dari berat lahirnya, ada-tidaknya kelainan (yang diketahui lewat USG), ada-tidaknya problem kelahiran, normal-tidaknya ukuran lingkar kepalanya, aktif-tidak gerakannya, langsung menangis atau tidak saat lahir, ada-tidaknya gangguan lain, dsb. Semua itu bisa jadi petunjuk apakah perkembangan otak bayi baik atau tidak. Kenapa otak? Karena kecerdasan tersangkut dengan otak. Jika semuanya positif, kemungkinan besar si bayi adalah anak yang cerdas.
Kita juga bisa mengamati perkembangan kemampuan anak di bulan-bulan sesudahnya. Misalnya, sudah bisa apa saja anak di usia 2 tahun? Bagaiman respons anak? Apakah ia banyak bertanya? dsb. Untuk itu, orangtua juga bisa berpatokan pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Nantinya, semakin besar anak, semakin banyak parameter yang bisa kita nilai.
Punya gen cerdas bukanlah satu-satunya jaminan bahwa seorang anak akan tumbuh menjadi anak cerdas selamanya. Karena, kecerdasan dapat berubah (bahkan sampai dewasa) tergantung positif-negatifnya pengaruh lingkungan. Misalnya, anak cerdas yang menjumpai problem di sekolah bisa saja menjadi malas sehingga kecerdasannya pun berkurang.
Sebaliknya, anak tidak cerdas yang didukung sedemikian rupa oleh lingkungannya tak mustahil akan tumbuh menjadi anak yang cerdas. Jadi, orangtua yang merasa ‘biasa-biasa saja’ kecerdasaannya tak perlu kecil hati, karena kecerdasan anak masih bisa dibentuk.Hanya saja, adakalanya faktor gen maupun lingkungan tak bisa berperan terlalu banyak. Contohnya pada anak dengan kelainan gen — semisal kromosomnya jelek (berpenyakit) — yang menyebabkan anak menjadi cacat perkembangan. Di sini, peran faktor lingkungan menjadi sangat kecil. Contoh lainnya adalah anak yang tak punya bakat cerdas dan lingkungannya pun biasa-biasa saja, namun ternyata ia tumbuh menjadi anak yang cerdas.Dr. Dwi P. Widodo, Sp.A.(K), M.Med. Dokter Spesialis Anak Konsultan, Sub Bagian Neurologi Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Memiliki 95 Persen Gen Cerdas Saja Belum Cukup…
Yang menjadi penentu kecerdasan anak itu banyak. Selain faktor genetik (nature) dan faktor lingkungan (nurture) — yakni masalah gizi dan stimulasi pendidikan — ada juga hal-hal tak terduga yang turut mempengaruhi. Katakanlah terjadi kecelakaan (gegar otak) atau gangguan kesehatan pada anak (cerebral palsy, autis, dll). Anak yang punya keturunan pintar pun akan tergangu otaknya. Jadi sekali lagi, semua faktor berpengaruh. Tak ada yang utama, semua setara.
Memang, anak yang memiliki orangtua cerdas bisa dibilang membawa 95 persen gen cerdas. Tapi untuk mewujudkan itu tergantung banyak hal. Jika selama hamil ibunya kurang mengkonsumsi asupan gizi yang baik, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman keras, maka kecerdasan dan tumbuh kembangnya akan terganggu. Jadi, cerdas-tidaknya anak sebenarnya akan terlihat dari hasil akhirnya.
Kecerdasan mulai bisa dipantau saat anak berusia 2 tahun. Yaitu ketika sudah mulai bisa bicara, atau saraf motoriknya sudah berfungsi dengan baik (misalnya, anak sudah bisa menyusun balok dengan benar). Cara mendeteksi kecerdasan yang paling mudah dan murah adalah membandingkan tingkat perkembangan anak dengan anak lain. Apakah ia berada di atas rata-rata, di bawah rata-rata atau setara? Contoh, anak usia 2 tahun biasanya sudah dapat mengucapkan 500-1.000 kata. Maka bila si kecil mampu mengucapkan lebih dari 1.000 kata, berarti ia termasuk cerdas.
Ciri-ciri anak cerdas adalah mudah menangkap ‘pelajaran’ (segala sesuatu yang diajarkan kepadanya). Misalnya, saat melihat kereta lewat kita menerangkan mengapa palang penutup jalan turun. Jika ia mampu menangkap, berarti ia termasuk anak cerdas. Ciri lainnya adalah punya ingatan baik, perbendarahan kata luas, berpikir kritis, punya daya konsentrasi yang baik, menguasai banyak bahan tentang berbagai macam topik, senang dan sering membaca, pengamatannya cermat (misalnya jika melihat sesuatu langsung bertanya), punya ungkapan diri yang lancar dan jelas, senang mempelajari kamus, peta dan ensiklopedi, serta cepat memecahkan masalah. Jika kita ingin lebih pasti, sebaiknya dilakukan uji kecerdasaan oleh psikolog lewat tes IQ. Ini sudah bisa dilakukan ketika anak berusia 2 tahun.
Bila setelah dideteksi anak termasuk kategori cerdas, tugas orangtua adalah mengupayakan agar kecerdasannya itu berlanjut. Caranya, teruslah memberi rangsangan pendidikan sesuai usianya. Usahakan aspek tumbuh kembang lainnya juga dalam kondisi baik. Anak cerdas yang sering terganggu fisiknya (sakit), lama-kelamaan akan terganggu aspek kecerdasannya. Aspek emosional juga perlu dikembangkan agar anak cerdas punya rasa percaya diri. Aspek sosial pun penting, agar anak cerdas bisa bersosialisasi dengan temannya, dsb.
Jika kita merasa ‘tidak punya gen cerdas’ atau belum menemukan tanda-tanda ‘adanya gen cerdas’ pada anak, jangan putus asa. Ingat, cerdas-tidaknya anak juga tergantung rangsangan pendidikan dan gizi yang baik. Anak cerdas tapi kurang mendapat rangsangan pendidikan serta gizi yang baik, potensi kecerdasannya otomatis akan menurun.
Jadi, orangtua harus tetap punya harapan positif terhadap anak. Bermodal harapan itu, rangsanglah kecerdasan si kecil sejak dini. Salah satu caranya, rangsanglah rasa ingin tahunya. Misalnya, kenalkan pada lingkungan sekitar, buku, musik, olahraga dan mainan edukatif. Yakinlah, setiap anak mempunyai potensi kecerdasannya masing-masing.
Sumber: Tabloid Ibu Anak
Mendeteksi ada-tidaknya gen cerdas pada anak itu mudah, tidak perlu sampai mendeteksi kromosom (tempat bersemayamnya gen-gen — Red.) segala. Sejak dini (usia anak 3 bulan), kita sudah bisa mendeteksi bakatnya. Caranya, pantau terus perkembangannya. Jika kita membunyikan bel dan anak bisa mengikuti (menemukan) arah datangnya suara bel (dengan menolehkan kepala — Red.), berarti ia cukup cerdas dan perkembangan motoriknya baik.
Kita juga bisa memprediksi cerdas-tidaknya bayi lewat berbagai hal. Misalnya, dari berat lahirnya, ada-tidaknya kelainan (yang diketahui lewat USG), ada-tidaknya problem kelahiran, normal-tidaknya ukuran lingkar kepalanya, aktif-tidak gerakannya, langsung menangis atau tidak saat lahir, ada-tidaknya gangguan lain, dsb. Semua itu bisa jadi petunjuk apakah perkembangan otak bayi baik atau tidak. Kenapa otak? Karena kecerdasan tersangkut dengan otak. Jika semuanya positif, kemungkinan besar si bayi adalah anak yang cerdas.
Kita juga bisa mengamati perkembangan kemampuan anak di bulan-bulan sesudahnya. Misalnya, sudah bisa apa saja anak di usia 2 tahun? Bagaiman respons anak? Apakah ia banyak bertanya? dsb. Untuk itu, orangtua juga bisa berpatokan pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Nantinya, semakin besar anak, semakin banyak parameter yang bisa kita nilai.
Punya gen cerdas bukanlah satu-satunya jaminan bahwa seorang anak akan tumbuh menjadi anak cerdas selamanya. Karena, kecerdasan dapat berubah (bahkan sampai dewasa) tergantung positif-negatifnya pengaruh lingkungan. Misalnya, anak cerdas yang menjumpai problem di sekolah bisa saja menjadi malas sehingga kecerdasannya pun berkurang.
Sebaliknya, anak tidak cerdas yang didukung sedemikian rupa oleh lingkungannya tak mustahil akan tumbuh menjadi anak yang cerdas. Jadi, orangtua yang merasa ‘biasa-biasa saja’ kecerdasaannya tak perlu kecil hati, karena kecerdasan anak masih bisa dibentuk.Hanya saja, adakalanya faktor gen maupun lingkungan tak bisa berperan terlalu banyak. Contohnya pada anak dengan kelainan gen — semisal kromosomnya jelek (berpenyakit) — yang menyebabkan anak menjadi cacat perkembangan. Di sini, peran faktor lingkungan menjadi sangat kecil. Contoh lainnya adalah anak yang tak punya bakat cerdas dan lingkungannya pun biasa-biasa saja, namun ternyata ia tumbuh menjadi anak yang cerdas.Dr. Dwi P. Widodo, Sp.A.(K), M.Med. Dokter Spesialis Anak Konsultan, Sub Bagian Neurologi Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Memiliki 95 Persen Gen Cerdas Saja Belum Cukup…
Yang menjadi penentu kecerdasan anak itu banyak. Selain faktor genetik (nature) dan faktor lingkungan (nurture) — yakni masalah gizi dan stimulasi pendidikan — ada juga hal-hal tak terduga yang turut mempengaruhi. Katakanlah terjadi kecelakaan (gegar otak) atau gangguan kesehatan pada anak (cerebral palsy, autis, dll). Anak yang punya keturunan pintar pun akan tergangu otaknya. Jadi sekali lagi, semua faktor berpengaruh. Tak ada yang utama, semua setara.
Memang, anak yang memiliki orangtua cerdas bisa dibilang membawa 95 persen gen cerdas. Tapi untuk mewujudkan itu tergantung banyak hal. Jika selama hamil ibunya kurang mengkonsumsi asupan gizi yang baik, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman keras, maka kecerdasan dan tumbuh kembangnya akan terganggu. Jadi, cerdas-tidaknya anak sebenarnya akan terlihat dari hasil akhirnya.
Kecerdasan mulai bisa dipantau saat anak berusia 2 tahun. Yaitu ketika sudah mulai bisa bicara, atau saraf motoriknya sudah berfungsi dengan baik (misalnya, anak sudah bisa menyusun balok dengan benar). Cara mendeteksi kecerdasan yang paling mudah dan murah adalah membandingkan tingkat perkembangan anak dengan anak lain. Apakah ia berada di atas rata-rata, di bawah rata-rata atau setara? Contoh, anak usia 2 tahun biasanya sudah dapat mengucapkan 500-1.000 kata. Maka bila si kecil mampu mengucapkan lebih dari 1.000 kata, berarti ia termasuk cerdas.
Ciri-ciri anak cerdas adalah mudah menangkap ‘pelajaran’ (segala sesuatu yang diajarkan kepadanya). Misalnya, saat melihat kereta lewat kita menerangkan mengapa palang penutup jalan turun. Jika ia mampu menangkap, berarti ia termasuk anak cerdas. Ciri lainnya adalah punya ingatan baik, perbendarahan kata luas, berpikir kritis, punya daya konsentrasi yang baik, menguasai banyak bahan tentang berbagai macam topik, senang dan sering membaca, pengamatannya cermat (misalnya jika melihat sesuatu langsung bertanya), punya ungkapan diri yang lancar dan jelas, senang mempelajari kamus, peta dan ensiklopedi, serta cepat memecahkan masalah. Jika kita ingin lebih pasti, sebaiknya dilakukan uji kecerdasaan oleh psikolog lewat tes IQ. Ini sudah bisa dilakukan ketika anak berusia 2 tahun.
Bila setelah dideteksi anak termasuk kategori cerdas, tugas orangtua adalah mengupayakan agar kecerdasannya itu berlanjut. Caranya, teruslah memberi rangsangan pendidikan sesuai usianya. Usahakan aspek tumbuh kembang lainnya juga dalam kondisi baik. Anak cerdas yang sering terganggu fisiknya (sakit), lama-kelamaan akan terganggu aspek kecerdasannya. Aspek emosional juga perlu dikembangkan agar anak cerdas punya rasa percaya diri. Aspek sosial pun penting, agar anak cerdas bisa bersosialisasi dengan temannya, dsb.
Jika kita merasa ‘tidak punya gen cerdas’ atau belum menemukan tanda-tanda ‘adanya gen cerdas’ pada anak, jangan putus asa. Ingat, cerdas-tidaknya anak juga tergantung rangsangan pendidikan dan gizi yang baik. Anak cerdas tapi kurang mendapat rangsangan pendidikan serta gizi yang baik, potensi kecerdasannya otomatis akan menurun.
Jadi, orangtua harus tetap punya harapan positif terhadap anak. Bermodal harapan itu, rangsanglah kecerdasan si kecil sejak dini. Salah satu caranya, rangsanglah rasa ingin tahunya. Misalnya, kenalkan pada lingkungan sekitar, buku, musik, olahraga dan mainan edukatif. Yakinlah, setiap anak mempunyai potensi kecerdasannya masing-masing.
Sumber: Tabloid Ibu Anak
Ntapsss