Fenomena Bunuh Diri


Bunuh Diri di Mal, Pilihan Ideal?

Jumat, 4 Desember 2009 | 14:58 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Maraknya kasus bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini mengundang sebuah pertanyaan. Tercatat ada lima kasus bunuh diri dalam sepekan dan tiga di antaranya dilakukan dengan cara melompat dari lantai atas pusat perbelanjaan.

Modus bunuh diri dengan cara melompat dari lantai atas pusat perbelanjaan ini seperti menjadi tren. Mengapa korban begitu nekad mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari ketinggian?

Menurut psikolog klinis dari Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia, Dra Yati Utoyo Lubis MA. PhD, fenomena bunuh diri di mal adalah bukti bahwa para korban ingin mencari pilihan yang mudah dan cepat dalam melepaskan nyawa.

Gedung bertingkat atau lantai atas pusat perbelanjaan menjadi pilihan ideal bagi para korban karena di tempat-tempat seperti ini mereka yakin bahwa upaya bunuh diri akan berhasil.

"Mereka yang ingin melakukan bunuh diri akan mencari cara yang paling gampang. Memotong pembuluh darah mungkin akan terasa sakit dan belum tentu akan selesai. Mungkin yang paling gampang adalah melompat dari ketinggian. Mereka mencari tempat yang pasti akan berhasil, jadi dicarilah gedung- gedung bertingkat," ujar Yati.

Menyoal apakah kasus bunuh diri beruntun ini karena para pelaku terilhami oleh kasus sebelumnya, Yati tidak dapat memastikannya. Akan tetapi Yati mengakui bahwa fenomena bunuh diri juga dapat dipicu oleh suicide contagion atau bunuh diri yang menular.

"Pernah ada sebuah penelitian di Amerika Serikat bahwa di kalangan remaja terjadi suicide contaigion. Mereka melakukan bunuh diri hanya untuk mencoba-coba dan membuktikan dirinya hebat," ujar Yati.

Fenomena bunuh diri yang menular dapat pula dipicu oleh pemberitaan media yang tidak proporsional. Media yang memuat foto korban secara lengkap atau yang mengungkap secara detail teknik korban melakukannya. Hal ini akan memunculkan preokupasi (pikiran berulang) bunuh diri, dan tidak menutup kemungkinan akan memberi ilham metode pelaksanaan bunuh diri.

AC

Editor: acandra

http://m.kompas.com


Pendapat saya mengenai artikel diatas :

Saya setuju sekali kalau fenomena bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini nampaknya seperti sebuah trend suicide contaigion, hal ini karena perilaku dari kehadiran orang lain baik secara aktual,imagine atau imply akan memberikan pengaruh terhadap orang lain. Konteksnya  tidak hanya perilaku bunuh diri, tetapi semua perilaku. Misalnya, kita menerobos lampu merah karena melihat yang lain melakukan hal yang sama. Atau yang menarik lagi misalnya bila anda berada di antrean lampu merah dan mobil anda ada di urutan keempat atau kelima, lalu muncul seorang pengemis atau pengamen dan mendekati mobil yang berada di urutan pertama. Bila pengemudi tersebut memberi sejumlah uang recehan kepada pengemis tersebut, kemungkinan besar pengemudi yang di urutan kedua juga akan hal serupa.

Efek penularan ini bukan sesuatu yang rasional atau terjadi secara sadar. Penyebarannya tidak bersifat persuasif, namun lebih samar daripada itu.

Berita di media seolah-olah memberikan sebuah inspirasi pada pembacanya. Inspirasi cara untuk menyelesaikan masalah, memberikan sebuah pembenaran bahwa suatu cara boleh ditempuh. Selain media massa, lingkungan sekitar kita juga sangat memengaruhi pengambilan keputusan kita. 

Sinyal akan bunuh diri antara lain penarikan diri dari hubungan; berbicara tentang kematian, hari kiamat; atau tentang bunuh diri; memberikan miliknya yang berharga; penyalahgunaan obat terlarang atau alkohol; perubahan kepribadian seperti peningkatan marah, rasa bosan, atau apatis; pengacuhan penampilan yang tidak biasa; kesulitan berkonsentrasi saat bekerja atau di sekolah; menjauhkan diri dari pekerjaan, sekolah, atau aktivitas normal lainnya; mengeluhkan masalah fisik padahal tidak ada yang salah; makan atau tidur jauh lebih banyak atau lebih sedikit dari biasanya. Teman dan orang tua mungkin dapat membantu dengan berbicara kepada orang yang hendak melakukan bunuh diri tentang pemikiran bunuh dirinya agar dikeluarkan; menceritakan hal tersebut kepada orang lain yang mampu melakukan sesuatu orang tua atau pasangan orang tua tersebut, anggota keluarga lain, sahabat dekat, terapis atau seorang konselor; dan menunjukkan kepada orang tersebut bahwa dia memiliki opsi lain disamping kematian, walaupun tidak satu pun di antara opsi tersebut yang ideal.

 Tetapi apa yang terjadi jika subjek bunuh diri adalah seorang anak-anak? terlebih mereka memiliki keterbatasan penalaran dan sebagian besar perilakunya didasari oleh perilaku copying. Ditambah lagi maraknya bunuh diri anak terjai akhir-akhir ini. Maka berikut yang harus dilakukan oleh orang tua sebagai pihak otoriter yang paling dekat dengan anak :

1. Saringlah informasi yang masuk

Menghindarkan anak dari tontonan berita-berita kriminal yang marak di televisi adalah langkah yang baik agar anak berpandangan baik tentang dunia ini. Selain itu, menghindari berlangganan majalah, tabloid atau koran yang memuat banyak berita-berita gosip atau kekerasan adalah tindakan bijak lainnya.

2. Pilih mainan yang digunakan

Temani dan arahkan anak anda untuk memilih permainan yang digemari. Akan baik sekali bila permainan yang Anda beli untuk si kecil adalah permainan yang mengasah kemampuan sensorik dan motoriknya.

Bila membeli DVD untuk video game, hindarkan permaianan yang mengandung unsur kekerasan.

3. Belajarlah mendengar



Banyak masalah anak yang berasal dari kurangnya komunikasi dari orang tua kepada buah hatinya. Komunikasi merupakan kemampuan yang paling penting dalam dunia ini. Kita menghabiskan sebagian besar hidup kita untuk belajar membaca dan menulis. Kita juga menghabiskan waktu untuk belajar berbicara yang baik, namun bagaimana dengan mendengarkan?

Jika kita ingin berinteraksi secara efektif dan mengerti kebutuhan anak secara utuh, kita perlu mengerti apa yang diinginkan anak secara detail dan mendalam. Untuk ini, kita harus mendengarkan secara empati, melihat dengan kacamata si kecil.

Kebanyakan dari kita merasa lebih pintar dan lebih tahu apa yang dibutuhkan anak, sehingga kita jarang mau mendengar mereka secara mendalam. Kita sering sekali memotong perkataan mereka dan memberikan contoh masa lalu kita.

Coba kita tengok sebentar, ketika seorang anak ingin meminta pengertian dari ayahnya mengenai keengganannya untuk melajutkan sekolah, hampir semua ayah tak mencoba memahami alasannya. Alih-alih sang ayah langsung menimpali dengan menceritakan bahwa dirinya bisa sukses karena dulu ia rajin sekolah.

Ketidakpuasan anak karena tidak dimengerti akan membuat anak menjadi pasif dalam berkomunikasi dengan orang tua. Anak akan menjawab seperlunya dan ini akan menjadi cikal bakal tindakan-tindakan nekad sang anak, terutamapada anak laki-laki.

Statistik menunjukkan bahwa empat dari lima orang yang bunuh diri adalah pria. Hal ini disebabkan pria lebih sedikit berbagi, tidak boleh menangis, dan lebih jarang berpelukan. Padahal curhat atau berbagi, berpelukan dan menangis adalah pelepasan emosi dalam bawah sadar yang sangat baik.

Demikian pendapat saya, semoga kita segera belajar untuk perduli sekitar dan mau mendengar agar tdk membiarkan segala sesuatunya terlambat.


referensi :

Human Development bagian V s/d bagian IX oleh Diane E. Papalia dkk.

http://happinessinside.wordpress.com/article/

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Fenomena Bunuh Diri"

Posting Komentar