Relokasi dan Penanganan Korban Pasca Bencana Merapi
Gundah dan gusarnya Merapi yang sekarang pada posisi status “Awas,” semakin menyedot perhatian beberapa pihak untuk bersegera menyelamatkan masyarakat sekitar dengan beragam kemenarikan potensi SDA dan sosial budayanya. Disadari atau tidak, eksplosif Merapi, (mungkin) bakal menyisakan setumpuk penderitaan bagi masyarakat. Lantas, apa yang telah dan akan kita perbuat untuk meringankan beban ketidakberdayaan dan kenestapaan masyarakat. Pada kondisi darurat dan mendesak demikian, tidak ada salahnya siapa pun berhak untuk berkunjung dan memberi bantuan. Bantuan tidak pernah mengenal dan memedulikan “warna”. Namun mekanisme bantuan dan kontrol harus terjaga, jangan sampai birokrasi justru menghambat program pembangunan (Ginanjar Kartasasmita, 1995). Problema paling mendasar adalah persoalan fisik, seperti pemenuhan kebutuhan makan minum, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan yang tidak memadai, tidak tersedia atau terbatasnya fasilitas umum maupun fasilitas sosial dan sanitasi lingkungan yang buruk sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bahkan bibit penyakit.
Keterpurukan lain yang dihadapi yakni, masalah psikososial, seperti kekhawatiran akan terjadinya ledakan susulan, rasa sedih dan kehilangan yang mendalam apabila ada anggota keluarganya yang meninggal, halusinasi mengenai kejadian bencana baru yang akan menimpa mereka di tempat pengungsian, stress (ringan, sedang, berat), frustasi dan trauma serta kecewa dan putus asa dengan situasi dan kondisi kehidupan yang mereka alami di pengungsian. Hal yang memperparah kondisi para pengungsi, mereka mudah tersulut api konflik dengan sesama pengungsi akibat jenuh (burnout) karena sebagian besar korban bermatapencaharian sebagai petani dan yang terjadi di tempat pengungsian mereka hanya diam saja maka hal itulah yang membuat mereka bosan, kemudian tidak terpenuhinya kebutuhan hidup, tidak optimalnya pelaksanaan fungsi dan peran keluarga dan kemungkinan-kemungkinan hilangnya pengendalian diri, kekecewaan terhadap pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah yang berpotensi menjadi aksi sosial. Pengungsi pun terjangkit hilangnya harga diri dan rasa percaya diri, pasrah, putus asa, merasa tidak berdaya dan ketidakpastian terhadap masa depan, menyalahkan orang/pihak lain yang dianggap menambah beban hidup mereka, ketergantungan terhadap bantuan dari Pemerintah dan pihak-pihak lainnya, dan menyalahkan Tuhan serta menolak direlokasi ke tempat baru, jika tempat asalnya tidak memungkinkan lagi dihuni.
Langkah pertama yang layak dilakukan,
pertama, advokasi. Melindungi dan mengupayakan kepastian mengenai pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi secara layak dan memadai.
Kedua, intervensi keluarga. Keluarga-keluarga pengungsi yang kehilangan kepala keluarganya perlu mendapatkan pelayanan khusus karena (barangkali) seorang istri atau ibu harus mengambil alih tanggung jawab sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah. Pengertian, dukungan dan partisipasi semua anggota keluarga sangat dibutuhkan agar masa transisi peran tersebut dapat dilaksanakan dengan baik agar fungsi keluarga dapat pulih kembali dan stabilitasasi peran keluarga dapat dicapai.
Ketiga, terapi krisis. Dalam konteks ini, tidak sedikit masyarakat yang menolak untuk direlokasi, tidak puas dan merasa tidak berdaya dengan situasi dan kondisi yang baru yang berbeda dengan keseharian mereka sebelumnya. Perasaan-perasaan tersebut seringkali menimbulkan gangguan psikis, seperti kecemasan dan insomnia, stress, frustasi dan selalu ada kemungkinan timbul aksi sosial atau konflik. Layanan ini diberikan kepada individu-individu yang mengalami stress atau trauma karena kejadian bencana itu sendiri, karena kehilangan harta bendanya atau karena kehilangan anggota keluarganya.
Untuk kasus seperti ini maka perlu membentuk kelompok-kelompok khusus untuk mendapatkan terapi. Terapi yang dilakukan antara lain : pengungkapan perasaan-perasaan negatif yang dilanjutkan dengan pembelajaran sederhana mengenai cara membangun perasaan-perasaan yang positif dan bekerja bersama-sama dengan kelompok untuk menginventarisasi hal-hal positif yang dapat dilakukan di daerah yang baru dan menyusun rencana kegiatannya.
Keempat, membangun partisipasi. Pengungsi perlu dilibatkan dalam berbagai kegiatan di barak-barak pengungsian (dapur umum, latihan keterampilan dan kegiatan lain) untuk mengalihkan perasaan-perasaan kontra produktif, dan menyusun rencana recovery bersama dengan pengungsi.
Terakhir, mediasi dan fasilitasi relokasi dengan penyuluhan terhadap masyarakat di daerah tujuan yang baru agar dapat menerima kehadiran para pengungsi yang direlokasi ke daerah mereka.
Pada titik inilah, pemberdayaan pengungsi akan lebih optimal dan terus bermetamorfosa sebagai payung yang mampu memberi rasa aman, nyaman dan menjadi tempat pertama bagi pengungsi untuk mencari perlindungan. Hal itu merupakan wahana efektif dan strategis sebagai wahana konseling secara psikologis, moral dan hukum terhadap korban. Inilah sebenarnya transformasi sosial secara konkret pada tataran akar rumput.
*(Marjono – Bapermades Prov. Jateng)
Sumber: http://www.jatengprov.go.id/?mid=wartadaera&listStyle=gallery&category=4254&document_srl=11905
Tindakan Kita Sebagai Mahasiwa Psikologi untuk Korban Pasca Bencana Gunung Merapi.
Bencana Merapi yang terjadi pada Oktober lalu sungguh membuat pilu terutama untuk para korban yang kehilangan keluarganya, harta bendanya, bahkan mungkin anggota tubuhnya. Bantuan terus berdatangan dari berbagai pihak berupa materi. Memang pada kondisi pasca bencana seperti ini yang Pertama dibutuhkan adalah bantuan materi untuk melanjutkan hidup para korban yang selamat. Namun sebenarnya ada lagi yang paling penting selain bantuan berupa materi, karena sesungguhnya tidak hanya kehilangan harta benda saja yang mereka rasakan, tetapi perasaan sedih akibat kehilangan keluarga yang mereka sayangi secara tiba-tiba juga berdampak buruk bagi mental dan psikologis mereka. Untuk itu sebagai mahasiswa Psikologi yang memiliki rasa empatik jika kami menjadi relawan dalam penanganan korban pasca bencana Merapi adalah yang pertama pasti bantuan materi dengan mengumpulkan pakaian bekas layak pakai, makanan dan kebutuhan lainnya, menggalang dana.
Kegiatan psikologis yang akan kami lakukan seperti menghilangkan trauma para korban dengan menghibur korban, pelatihan dan pembinaan keluarga.
Terlebih dahulu kami akan terfokus kepada anak – anak, karena mereka pasti belum tau bagaimana caranya mengontrol emosi mereka dan mungkin anak-anak belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dengan tujuan untuk menghilangkan kebosanan pada anak – anak selama dipengungsian, maka kami akan mengadakan games – games ringan. Seperti menggambar, mewarnai, dan permainan kelompok. khususnya anak-anak dengan cara memberikan sebuah permaianan bagi anak-anak. Juga kami mendengarkan cerita dari anak – anak, mengajak mereka membuat barang kerajinan, dan hal tersebut merupakan upaya untuk meluapkan ekspresi serta membuang energi negatif anak. Tidak hanya itu, untuk bapak-bapak, ibu-ibu, atau orang tua yang sebagian besar matapencahariannya adalah sebagai petani/peternak pasti mereka merasakan kebosanan di lokasi pengungsian karena rutinitas mereka sudah tidak dapat lagi dilakukan, maka kami mencoba untuk member hiburan, walaupun hiburan hanya sementara sifatnya paling tidak ia dapat merasakan tertawa dan melupakan sejenak beban mental mereka. Lebih lanjut lagi, dengan ilmu psikologi yang kami miliki, maka kami akan memberikan konseling ringan untuk mereka yang mengalami stress atau depresi.
Kita juga akan memberikan penyuluhan terhadap korban merapi tentang relokasi (tempat tinggal sementara untuk para korban bencana) agar mereka dapat menerima dimana mereka akan diberi tempat tinggal yang baru. Dan dengan mudah untuk beradaptasi di tempat atau lingkungan yang baru.
TUGAS PSIKOLOGI KELOMPOK
AYUDYA RINDANI (10508033)
DIAH SEPTILINAWATI (10508060)
NURBIANTI (10508163)
STEVEN XAVERIUS
0 Response to "Relokasi dan Penanganan Korban Pasca Bencana Merapi"
Posting Komentar